sudah ikhlaskah aku?

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ 
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, mkaa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju”. (HR. Bukhori No.1 dan Muslim No. 1907)
Hadits tersebut telah sering kudengar, hingga akhirnya aku pun hafal, namun sudahkah aku mengamalkan hadits tersebut dalam kehidupanku?
Ya, niat yang ikhlas dalam segala perbuatan, baik perbuatan mubah maupun wajib. Mungkin lebih mudah menata hati untuk ikhlas ketika perkara tersebut adalah perintah Allah, namun bagaimana dengan perkara yang mubah? Seperti tidur, makan, bercengkrama, kuliah, dan berbagai aktivitas keduniaan lainnya. Semoga dengan me-murajaah (mengulang_red) ilmu ini dapat mengingatkan hati yang lalai untuk segera dan senantiasa memperbaiki niat dalam berbagai perbuatan.
Meraih keikhlasan merupakan puncak dari segala kebahagiaan dalam kehidupan yang penuh dengan pernak-pernik, akan tetapi meraih keikhlasan merupakan perkara yang sangat berat dan susah, membutuhkan perjuangan berat, perjuangan dan jihad seumur hidup melawan riya’, sum’ah dan ujub, perjuangan yang tiada pernah berhenti. Pantas saja jika imam besar, Sufyan At-Tsauri rahimahullah pernah mengatakan,
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي لأَنَّهُ تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ
“Tidak pernah aku memperbaiki sesuatu yang lebih berat bagiku dari pada niatku, karena niat selalu berubah-ubah” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam: 29).
Oleh karenanya sangatlah pantas jika Allah memberikan ganjaran yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas. Berikut ini adalah beberapa pelajaran tentang ikhlas yang semoga dengannya hati menjadi lebih bersemangat untuk selalu meluruskan niat karena Allah.

Ikhlas merupakan sebab diampuninya dosa

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ
Artinya, “Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245).
Dalam hadits ini sangatlah nampak keikhlasan sang wanita pezina tatkala menolong sang anjing. Kita bisa menyimpulkannya dari beberapa indikator berikut,
  • Tidak ada seorangpun yang melihat sang wanita tatkala menolong sang anjing, yang melihatnya hanyalah Dzat Yang Maha melihat yaitu Allah.
  • Amalan yang cukup berat yang dikerjakan oleh sang wanita ini, di mana ia turun ke sumur lalu mengisi air ke sepatunya lalu memberikannya ke anjing tersebut. Bagi seorang wanita pekerjaan seperti ini cukup memberatkan. Akan tetapi terasa ringan bagi seorang yang ikhlas.
  • Wanita ini sama sekali tidak mengharapkan ucapan terima kasih dari hewan yang hina seperti anjing tersebut, apalagi mengharapkan balas jasa dari anjing. Ini menunjukkan akan ikhlashnya sang wanita pezina tersebut.
Ibnul Qayyim memberi penjelasan dalam (Madaarijus Saalikiin 1/280-281), bahwa sinar tauhid yang ada dalam hati wanita tersebut membakar dosa-dosa zina yang pernah dilakukannya, maka Allah pun mengampuninya.

Ikhlas menjaga seseorang sehingga tidak terjerumus dalam fitnah, terutama fitnah wanita.

Allah berfirman tentang kisah nabi Yusuf dalam QS Yusuf : 24,
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Artinya, “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlash (yang terpilih)”.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Jika hati mencintai Allah saja dan mengikhlaskan agama hanya untuk Allah maka hati tersebut tidak akan terfitnah dengan mencintai selain Allah, apalagi sampai terbayang-bayang. Jika hati dan pikiran tersibukkan dengan bayang-bayang semu tersebut, hal itu adalah indikasi kuat kurangnya mahabbah(kecintaan) kepada Allah. Oleh karenanya tatkala nabi Yusuf mencintai Allah dan ikhlas kepada Allah maka ia tidak tertimpa fitnah tersebut.” (Amroodul Quluub).
Tentunya nasihat ini juga berlaku bagi muslimah, karena diantara perkara yang membantu untuk menundukkan pandangan adalah dengan ikhlas, hanya mengharap wajah Allah, merindukan perjumpaan nan indah dengan Ar-Rahim, dan hanya mengharapkan balasan dariNya.
Betapa rendahnya cita-cita seorang muslimah yang hanya mengharap pujian, ucapan terima kasih, dan balasan dari seorang hamba yang lemah, yang dia sendiri tidak mampu melepaskan berbagai kesulitan tanpa pertolonganNya.

Mendapat naungan Allah pada hari kiamat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungannya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seorang pria yang hatinya terikat dengan masjid-masjid, dua orang pria yang saling mencintai karena Allah, mereka berdua berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak untuk berzina oleh seorang wanita yang berkedudukan dan cantik namun ia berkata “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah lalu ia sembunyikan hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang berdzikir mengingat Allah tatkala bersendirian maka kedua matanyapun meneteskan air mata (HR Muslim no 660)
Di antara tujuh golongan tersebut ada dua golongan yang dinaungi oleh Allah karena keikhlasannya. Golongan yang pertama adalah seseorang yang bersedekah lantas ia tidak menceritakannya kepada orang lain, sehingga tidak seorangpun yang mengetahui sedekahnya tersebut, bahkan orang terdekatnya pun tidak mengetahui hal itu. Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata, “Sikap ini merupakan tanda kuatnya iman seseorang di mana cukup baginya bahwa Allah mengetahui amalannya (sehingga tidak butuh diketahui oleh orang lain-pen-). Dan hal ini menunjukkan sikap menyelisihi hawa nafsu, karena hawa nafsu ingin agar dirinya memperlihatkan sedekahnya dan ingin dipuji oleh manusia. Oleh karenanya sikap menyembunyikan sedekah membutuhkan keimanan yang sangat kuat untuk melawan hawa nafsu”. (Fathul Baari, 4/62). Golongan yang kedua adalah seseorang yang berdzikir mengingat Allah tatkala ia bersendirian (baik bersendirian secara zahir, maupun bersendirian secara batin) lantas ia pun mengalirkan air matanya.

Mendapat pahala dari Allah untuk perkara duniawi yang dilakukan karena mengharap wajah Allah.

Sungguh merupakan keberuntungan yang luar biasa bagi orang-orang yang ikhlas, karena bukan saja amalan-amalan ibadahnya yang diberi pahala oleh Allah bahkan amalan-amalannya yang bersifat duniawi juga mendapat pahala di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
Sesungguhnya tidaklah engkau berinfak sesuatupun dengan berharap wajah Allah (ikhlash) kecuali engkau akan diberi ganjaran, bahkan sampai makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu” (HR Al-Bukhari no 56 dan Muslim no 1628)
Betapa menggembirakan hadits tersebut, hendaklah kita bersemangat meraih ridho Allah dalam berbagai amalan, bahkan amalan duniawi.
Meniatkan makan dan minum agar badan kuat untuk beribadah pada Allah, meniatkan tidur untuk mempersiapkan badan mendirikan tahajud di sepertiga malam, meniatkan kuliah untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat yang dengannya dapat membantu orang lain, meniatkan patuh pada orang tua sebagai bentuk menjalankan perintah Allah, meniatkan menuturp aurat sebagai bentuk menjalankan perintah Allah dan karena malu padaNya, meniatkan datang ke majelis ilmu untuk memberantas kebodohan dalam diri agar ibadah padaNya semakin khusyu’, dan berbagai perkara yang semua diniatkan karena Allah semata.
Karena sesuatu yang mubah akan bernilai ibadah jika dijadikan sarana untuk mewujudkan yang wajib atau yang sunah. Sehingga ketika semua telah diniatkan karena Allah, insyaa Allah hati akan tenang, pikiran menjadi lebih fokus, dan tidak mudah dikecewakan oleh makhlukNya, dan tentunya mendapat bonus tambahan berupa pahala dari Allah.
Subhanallah, sungguh indah syari’atNya.
***

Referensi :
  1. Rekaman Kajian Faedah-Faedah Ikhlas, Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
  2. 2013. http://rumaysho.com/ilmu-ushul/faedah-fikih-dari-hadits-niat-3372. Yogyakarta
  3. 2011. www.firanda.com. Mekah
———————————————————-
Penulis: Ummu ‘Athifah Dian Pratiwi
Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.muslimah.or.id

(sumber: http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/sudah-ikhlaskah-aku.html)

Komentar

Postingan Populer